Minggu, 31 Januari 2010

Tasawuf & Kecerdasan Emosional

Kecerdasan Emosiaonal menurut Daniel Goleman
adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri kita sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri kita sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

dengan dmeikian kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri, pengaturan diri , motivasi,empati,danketrampilan sosial.


Dilihat dari perspektif sufistik unsur-unsur kecerdasan emosional juga ada dalam ajaran tasawuf misalnya kecerdasan kesadaran diri sendiri dalam tasawuf disebut dengan istilah Muhasabah, Muhasabah berarti melakukan perhitungan yaitu perhitungan terhadap diri sendiri mengenai perbuatan baik dan buruk yang pernah dilakukan tujuannya adalah mengurangi atau kalau bisa menghilangkan perbuatan buruk dan meningkatkan perbuatan baik.

Selengkapnya......

Niat Waktu Belajar


1. Pentingnya niat belajar
Zarnuji menjelaskan bahwa niat adalah azas segala perbuatan, maka dari itu adalah wajib berniat dalam belajar.20 Konsep niat dalam belajar ini mengacu kepada hadis Nabi saw yang artinya “Hanyasanya semua pekerjaan itu harus mempunya niat, dan hanyasanya setiap pekerjaan itu apa yang ia niatkan".(HR. Bukhari)
Dengan demikan amal yang berbentuk duniawi seperti makan, minum dan tidur bisa jadi amal ukhrawi dengan niat yang baik. Dan sebaliknya amal yang berbentuk ukhrawi seperti shalat, membaca zikir jadi amal duniawi dengan niat yang jelek seperti riya. Zarnuji berpendapat bahwa belajar adalah suatu pekerjaan, ia harus mempunya niat belajar.


2. Niat yang baik dan niat yang buruk
Azzarnuji menjelaskan bahwasanya dalam belajar hendaklah berniat untuk: (a). Mencari ridha Allah ‘Azza wa Jalla, (b). Memperoleh kebahagiaan akhirat, (c). Berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan kaum yang bodoh, (d). Mengembangkan dan melestarikan Islam, (e). Mensukuri nikmat akal dan badan yang sehat. Sebagaimana kutipan Syekh Burhanudin yang artinya Sungguh merupakan kehancuran yang besar seorang alim yang tak peduli, dan lebih parah dari itu seorang bodoh yang beribadah tanpa aturan, keduanya merupakan fitnah yang besar di alam semesta bagi orang-orang yang menjadikan keduanya sebagai pedoman. Ini mengisyaratkan bahwa orang yang pandai tetapi kependaiannya hanya untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain itu tidak berarti, begitu juga orang bodoh beribadah ibadahnya bias batal atau ia akan mudah terjerumus ke aliran sesat.

3. Sikap dalam berilmu
Di samping itu Zarnuji menyebutkan agar penuntut ilmu yang telah bersusah payah belajar, agar tidak memanfaatkan ilmunya untuk urusan-urusanduniawi yang hina dan rendah nilainya. Untuk itu kata Zarnuji hendaklah seseorang itu selalu menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Jadi yang perlu dicamkan adalah bahwa dalam mencari ilmu harus dengan niat yang baik sebab dengan niat itu dapat menghantarkan pada pencapaian keberhasilan. Niat yang sungguh-sungguh dalam mencari ilmu adalah keridhaan Allah akan mendapatkan pahala. Tidak diperkenankan dalam mencari ilmu untuk mendapatkan harta banyak.

Selengkapnya......

PERAN ULAMA DALAM SISTEM PENDIDIKAN PADA MASA ABAD PERTENGAHAN (Studi Pemikiran Metodologi Pendidikan Az-Zarnuji Dalam Kitab Ta'limul Mutalim)

Kata Ulama berasal dari akar kata Alima - Ya'lamu-ilman; artinya mengetahui/ pengetahuan; lawan dari kebodohan (dhiddu al-jahl). Isim fa'il-nya Alim dan bentuk jamaknya Alimun, Ullam atau Ulama; maknanya adalah orang yang berilmu; lawan dari orang yang bodoh atau yang tidak berpengetahuan (dhiddu al-jahil).
Di dalam al-Quran kata Ulama dinyatakan di dalam potongan QS asy-Syuara’ ayat 197: Ulama Bani Isra'il. Adapun kata al-ulama dinyatakan dalam firman Allah:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (QS al-Fathir [35]: 28).

Ibn Katsir menjelaskan, Sesungguhnya yang takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah ulama yang mengenal-Nya, yang karena makrifatnya kepada Allah telah sempurna, ketakutan mereka kepada-Nya sangat besar. Ibn Abbas menjelaskan, yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini adalah mereka yang mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Ibn Abbas menjelaskan lebih jauh, Orang yang mengenal Allah ar-Rahman di antara hamba-hamba-Nya adalah yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun; menghalalkan apa saja yang Dia halalkan; mengharamkan apa yang Dia haramkan; menjaga wasiat-wasiat-Nya; serta meyakini bahwa ia akan menghadap-Nya dan Dia akan meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya.
Kata Ulama juga tercantum dalam sejumlah hadis. Kesemuanya juga menggunakan makna bahasa di atas. Jadi, pengertian Ulama mencakup semua orang yang berpengetahuan dan ahli ilmu.

Namun, beberapa hadis, deskripsinya lebih menjelaskan ulama yang dikehendaki oleh Islam. Dari sinilah para ulama, ketika menyebutkan kata Ulama tanpa disertai adjektif (sifat), menyatakan bahwa yang dimaksud adalah ulama yang dikehendaki Islam ini. Adapun jika yang dikehendaki adalah ulama dari jenis yang lain biasanya disertai adjektif, seperti ungkapan: Ulama as-su' (ulama yang buruk), Ulamâ as-salathin (ulama penguasa), Ulamâ al-fajir (ulama yang jahat), dan sebagainya.
Al-Quran memberikan gambaran tentang ketinggian derajat para ulama, "Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah: 11). Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang yang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir: 28)
Sedangkan di dalam hadits nabi disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang dijadikan peninggalan dan warisan oleh para nabi. Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu.(HR Ibnu Hibban dengan derajat yang shahih).
Sebelum lebih jauh membahas tentang ulama, penulis mencoba mengingatkan tentang contoh realitas ulama ternyata dapat dibagi/ dikelompokan menjadi tiga kelompok/ periode yang diantaranya :
1. Ulama periode klasik (650-1250 M), yang pada masa ini merupakan zaman kemajuan awal peran dan fungsi ulama yang diantaranya adalah peran dan fungsi ulama masa nabi sendiri dan masa sahabat. Yang secara periodik dapat dibagi menjadi 2 (dua) fase yang diantaranya:
a. Fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan ulama (650-1000 M).
b. Fase disintegrasi ulama (1000-1250 M).
2. Ulama periode pertengahan (1250-1800 M), yang juga secara periodik dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) fase yang diantaranya :
a. Fase perkembangan corak dan karakter ulama dalam realitas awal kemunduran Islam dalam dinamika peradaban dan politik (1250-1500 M).
b. Fase tiga kerajaan besar rintisan para ulama (1500-1800 M) yang diantaranya adalah kesultanan usmani yang bertempat di Istambul Turki; yang dalam sejarah kesultanan ini memiliki akar kekuatan pemerintahan dan militer yang kuat, ilmu pengetahuan dan budaya Islam yang mulai berkembang, munculnya dua aliran tarekat, yaitu bektsyi yang banyak pengaruhnya dibidang militer, dan maulawiyah yang banyak pengaruhnya di lingkungan pejabat pemerintahan. Selanjutnya yang kedua kerajaan Safawi yang bertempat di Tabriz Persia (Iran); dalam riwayat masa/ kerajaan ini dalam sejarah juga memiliki sejarah yang sama yang diantaranya adalah memiliki pemerintahan dan politik yang kuat, sistem ekonomi yang bagus, serta ilmu pengetahuan yang dominan, juga corak dan karakter dalam dunia arsitektur, bangunan dan seni, dan hungga adanya Kerajaan Mogul di India.
3. Ulama periode modern (1800-sekarang), yang fase ini merupakan awal kebangkitan modernisasi ulama akibat perkembangan dan kemajuan pemikiran dan peradaban islam.

B. Pokok pembahasan
Pemahaman dan pembahasan peran Ulama pada masa abad pertengahan yang akan menjadi pembahasan inti dalam makalah ini adalah menyangkut fokus pada Studi Pemikiran Metodologi Pendidikan/ Belajar Az-Zarnuji dalam Kitab Ta'limul Mutalim.
Selanjutnya; metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Belajar bertujuan untuk mendapatkan penegetahuan, sikap, kecakapan dan keterampilan, serta akan menjadikannya berpribadian yang baik. Jadi yang dimaksud metode belajar adalah cara-cara yang dipakai oleh pelajar untuk mencapai tujuan tersebut. Kesalahan-kesalahan dalam metode belajar sering dilakukan murid, bukan saja karena ketidaktahuannya, tetapi juga disebabkan oleh kebiasaan- kebiasaan yang salah. Keberhasilan dalam belajar direalisasikan dengan adanya perwujudan norma-norma dan nilai positif dalam metode dan pendekatan belajar tersebut.
Zainuddin dkk, dalam buku Seluk-beluk Pendidikan dari al Ghazali, menjelaskan tentang norma-norma positif dalam metode belajar, sebagai berikut :
1. Memperhatikan kemuliaan, kehormatan dan kewibawaan guru, sehinggga hubungan guru dan murid dapat berjalan dengan harmonis.
2. Memperhatikan kosentrasi dan suasana belajar dalam kelas, dan
3. Sopan santun dan tata krama dalam pergaulan sehari-hari.
Menanggapi tentang metode belajar dalam kitab Ta`lim al-Muta`allim Tariqatta`llum Imam Az-Zarnuji banyak menguraikan metode belajar yang berguna dan akan membawa kesuksesan bagi orang yang menuntut ilmu. Zarnuji menjelaskan syarat-syarat memilih ilmu dan guru, hendaklah memelih ilmu yang berguna, bukan yang baru lahir dan hendaklah memilih guru yang lebih alim, wara` dan lebih tua usianya.

C. Riwayat Hidup Az-Zarnuji dan Pemikirannya
Sedikit sekali buku yang mengungkapkan sejarah kelahiran Zarnuji. Hal ini juga diungkapkan Dr. Muhammad Abdul Qadir Ahmad. Mengenai tempat kelahirannya tidak ada keterangan yang pasti. Namun jika dilihat dari nisbahnya, yaitu Az-Zarnuji, maka sebagian peneliti mengatakan bahwa ia berasal dari Zaradj. Dalam hubungan ini Abd al-Qadir Ahmad mengatakan: bahwa Az-Zarnuji berasal dari suatu daerah yang kini dikenal dengan nama Afganistan. Nama Zarnuji yang sebenarnya adalah Burhanuddin al-Zarnuji.
Karya Az-Zarnuji yang berjudul Ta’allim al-Muta’allim ditulis dengan bahasa Arab. Kemampuannya berbahasa Arab tidak bisa dijadikan alas an bahwa beliau keturunan Arab. Beberapa referensi telah penulis telaah dan tidak ditemukan bahwa az-Zarnurji adalah bangsa Arab, namun bisa jadi hal itu benar, sebab pada masa penyebaran agama Islam banyak orang Arab yang menyebarkan agama Islam ke berbagai negeri, kemudian bermukim di tempat di mana ia menyebarkan agama Islam, disamping itu tidaklah berlebihan kalau Az-Zarnuji dikatakan sebagai filosof, sebab disamping kitab Ta’allim al-Muta’allim mempunyai etika juga megandung nilai-nilai filsafat utuk membuktikan Az-Zarnuji adalah seorang filosof dan pemikiran filsafatnya lebih dekat dengan Al-Gazali. Malah kita lihat jejak Al-Gazali tampak dalam bukunya.
Adapun mengenai tahun lahirnya, setidaknya ada tiga pendapat yang dapat dikemukakan. Pertama, pendapat yang mengatakan beliau wafat pada tahun 591 H./1195 M. Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa Az-Zarnuji wafat pada tahun 840 H./1243 M. Sementara itu ada pula pendapat ketiga yang mengatakan bahwa beliau hidup semasa dengan Rida ad-Din an- Naisaburi yang hidup antara tahun 500-600 H. Pada saat itu, walaupun keadaan politik Daulah Islamiyah telah merosot, tetapi ilmu pengetahuan tambah maju seperti yang digambarkan Ahmad Amin; kalau dari segi politik dianggap lemah, maka sesungguhnya pada zaman itu (467-656 / 1075-1261) tidaklah lemah dari ilmu pengetahuan. Daulah Islamiyah pada periode itu lebih tinggi martabatnya dalam ilmu pengetahuan dibandingkan abad sebelumnya. kalau memang kekuasaan politik mulai berguguran, tetapi sinar ilmu pengetahuan tambah bercahaya. Dengan demikian, berarti Az-Zarnuji hidup di masa kejayaan ilmu pengetahuan berlangsung sampai ke abad empat belas. Perlu diingat, bahwa pengetahuan pada saat itu belum merupakan cabang ilmu sendiri, tetapi dikelompokkan pada bidang peradaban.

D. Pendidikan Az-Zarnuji
Az-Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkan, yaitu ibu kota yang menjadi pusat keilmuan, pengajaran dan lain-lainnya. masjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan diasuh oleh beberapa guru besar seperti Burhanuddin Al-Marginani, Syamsuddin Abdil Wajdi Muhammad bin Muhammad bin Abdul Satar, selain itu banyak guru Az- Zarnuji yang pendapat-pendapat mereka banyak diangkat dalam karyanya Ta’allim al-Muta’allim hinga kini banyak dikaji ulang oleh orang-orang Islam di berbagai negara Islam termasuk Indonesia.
Selain tiga orang di atas, Az-Zarnuji juga berguru kepada Ali Bin Abi Bakar Bin Abdul Jalil Al Farhani, Ruknul Islam Muhammad bin Abu Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara yang ahli dalam bidang fiqih, sastra dan syair, Hammad Bin Ibrahim ahli fiqih, sastra dan ilmu kalam, Fakhuruddin Al-Kasyani, Rukhnuddin al-Farhami ahli fiqih, sastra dan syair. Ia juga belajar kepada Al-Imam Sadiduddin Asy-Syirazi.


E. Situasi Pendidikan Pada Jaman Az-Zarnuji
Dalam sejarah kita mencatat, paling kurang ada lima tahapan pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama pendidikan pada masa Nabi Muhammad SAW (571-632 H). Kedua pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M). Ketiga pada masa Bani Umayyah di Damsyik (661-1250M) Keempat pada masa kekuasaan Abassiah di Bagdad (750- 1250M). dan pada kelima pendidikan pada masa jatuhnya kekuasaan Khalifah di Bagdad (1250-sampai sekarang.)
Di atas disebutkan bahwa Az-Zarnuji hidup sekitar abad ke-12 dan awal abad ke-13 (591-640 h / 1195-1243 M.) Dari kurun waktu tersebut dapat diketahui bahwa Az-Zarnuji hidup pada masa yang keempat dari periode pertumbuhan dan perkembangan pedidikan Islam sebagaimana disebut di atas, yaitu antara tahun 750-1250 M. Dalam catatan sejarah, periode ini merupakan zaman keemasan atau zaman kejayaan peradaban Islam umumnya dan khususnya pendidikan Islam. Dalam hubungan ini, Hasan Langgulung mengatakan: “ Zaman keemasan Islam ini mengenai dua pusat, yaitu kerajaan Abbasyiah yang berpusat di Bagdad yang berlangsung kurang lebih lima abad (750-1258 M.) dan kerajaan Umaiyah di Spanyol yang berlangsung kurang lebih delapan abad (711-1492 M.)”. Pada masa itu, kebudayaan Islam berkembang dengan pesatnya yang ditandai dengan munculnya berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi. Di antara lembaga-lembaga tersebut adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham al-Muluk (457 H.) Madrasah An-Nuriyah al-Kubra yang didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zanki pada tahun 563 H/1167M. di Damaskus dengan cabangnya yang amat banyak di kota Damaskus ada pula madrasah Al-Mustansiriyah yang didirikan oleh Khalifah Abbasiyah, Al-Mustansir Billah di Bagdad pada tahun 631 H./1234 M. sekolah Al-Mustansiriyah ini sebagaimana disebutkan Abuddin Nata dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memadai seperi gedung berlantai dua, aula, perpustakaan dengan kurang lebih 80.000 buku koleksi, halaman dan lapangan yang luas, masjid, balai pengobatan dan lain sebagainya. Keistimewaan lainnya yang dimiliki Madrasah ini adalah karena mengajarkan ilmu fikih dalam empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi`i dan Ahmad ibn Hambal).. Dengan memperhatikan imformasi tersebut di atas tampak jelas bahwa Az-Zarnuji hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam tengah mencapai puncak keemasan dan kejayaan.

F. Pemikiran Az-Zarnuji dan Karyanya
Buku Ta`lim al-Muta`allim adalah satu-satunya karya Az-Zarnuji. Namun bukan berarti tidak ada karya beliau yang lain. Sebab logikanya seorang alim seperti Az-Zarnuji yang selalu berkecimpung di dunia pendidikan bahkan seluruh hidupnya ia gunakan untuk pendidikan. Di samping itu, guru-guru Az- Zarnuji dan orang-orang seangkatan dengannya banyak menulis kitab. Jadi menurut penulis mungkin saja Az-Zarnuji menulis kitab lain dari yang disebutkan tetapi tidak diterbitkan.
Di Indonesia, kitab Ta`lim al-Muta`allim Thuruq al-Ta`alum dikaji dan dipelajari hampir di setiap lembaga pendidikan Islam, terutama lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren, bahkan di pondok pesantren modern sekalipun, seperti halnya di pondok pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan Zarnuji yang banyak berpengaruh dan patut diindahkan: 1) motivasi dan penghargaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 2) konsep filter terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 3) pendekatan-pendekatan teknis pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau moral-psikologis.
Point-point ini semuanya disampaikan Zarnuji dalam konteks moral yang ketat. Maka, dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara tentang metode belajar, tetapi ia juga menguraikannya dalam bentuk-bentuk teknis. Namun walaupun demikan, bentuk-bentuk teknis pendidikan ala Zarnuji ketika dibawa ke dalam wilayah dengan basis budaya modern, terkesan canggung. Saat itulah, Ta’lim kemudian banyak dipandang secara “tidak adil” (baca: apriori), ditolak dan disudutkan. Tetapi menurut penulis, terlepas dari pro-kontra kelayakannya sebagai metodologi pendidikan, yang jelas Zarnuji dalam cermin besarnya telah memberikan sebuah nuansa tentang pendidikan ideal; sebuah pendidikan yang bermuara pada pembentukan moral.
Secara umum kitab ini berisikan tiga belas pasal yang singkat-singkat, yaitu; 1) Pengertian Ilmu dan Keutamaannya; (2). Niat di kala belajar; (3). Memilih ilmu, guru dan teman serta ketahanan dalam belajar; (4). Menghormati ilmu dan ulama; (5). Ketekunan, kontiunitas dan cita-cita luhur; (6). Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya; (7). Tawakal kepada Allah; (8). Masa belajar; (9). Kasih sayang dan memberi nasehat, (10). Mengambil pelajaran, (11). Wara (menjaga diri dari yang haram dan syubhat) pada masa belajar, (12). Penyebab hafal dan lupa, dan (13). Masalah rezeki dan umur.
Dari ke 13 bab pembahasan di atas, berdasarkan analisa Mochtar Affandi, bahwa dari segi metode belajar yang dimuat Zarnuji dalam kitabnya itu meliputi dua kategori. Pertama, metode bersifat etik. Kedua, metode yang bersifat strategi. Metode yang bersifat etik antara lain mencakup niat dalam belajar; sedangkan metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar. Apabila dianalisa maka akan kelihatan dengan jelas Zarnuji mengutakan metode yang bersifat etik, karena dalam pembahasannya beliau cenderung mengutamakan masalah-masalah yang bernuansa pesan moral.

G. Metode Belajar dalam Kitab Ta`Lim al-Muta`allim
Zarnuji menguraikan dan memaparkan metode belajar itu dari beberapa sisi yang hirarkis dan saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Kisi-kisi atau aspek-aspek yang hirarkis yang berhubungan antara satu dengan yang lainnya itu adalah bahwa dalam proses belajar itu tidak dapat lepas dari beberapa komponen yang saling mendukung agar mendapat ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Metode belajar itu dijelaskan Zarnuji dalam 13 pasal, sebagaimana berikut;

H. Hakikat ilmu dan keutamaannya (Fi Mahiyah al-‘Ilmi wa al-fiqhi wa Fadlih)
Dalam kitab Ta'lim al Muta'allim karangan Zarnuji; ilmu adalah suatu sifat yang dengannya dapat menjadi jelas pengertian sesuatu yang disebut. Ia mengatakan, tidak ada ilmu kecuali dengan diamalkan dan mengamalkannya adalah meninggalkan tujuan duniawi untuk tujuan ukhrawi. Setiap orang sebaiknya tidak sampai melupakan dirinya dari hal-hal yang berguna, agar akal dan ilmu tidak menjadi dalih dan menyebabkannya bertambah maksiat.

1. Kewajiban belajar
Dalam Islam mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar mulai dari buaian sampai liang lahad. Menuntut ilmu wajib bagi muslim dan muslimat. Nabi Saw. bersabda: Carilah ilmu walaupun di negeri Cina. Hal ini juga sesuai dengan konteks pendidikan yang telah dikonsep oleh UNESCO bahwa orang hidup harus mencari ilmu (long life education). Zarnuji dalam kitabnya menjelaskan bahwa bukan semua ilmu yang wajib dituntut oleh seorang muslim, tetapi yang wajib baginya adalah menuntut ilmu hal (ilmu yang menyangkut kewajiban sehari-hari sebagai muslim, seperti ilmu tauhid, akhlak dan fikih) dan lain sebagainya. Wajib pula bagi muslim mempelajari ilmu yang menjadi prasyarat untuk menunaikan sesuatu yang menjadi kewajibannya. Dengan demikian wajib baginya mempelajari ilmu mengenai jual beli bila berdagang. Wajib pula mempelajari ilmu yang berhubungan dengan orang lain dan berbagai pekerjaan. Maka setiap orang yang terjun pada suatu profesi harus mempelajari ilmu yang menghindarkannya dari perbuatan haram di dalamnya. Kemudian setiap muslim wajib mempelajari ilmu yang berkaitan dengan hati, seperti tawakkal (pasrah kepada Allah), inabah (kembali kepala Allah), khauf (takut kepada murka Allah). dan rida (rela atas apa yang ditakdirkan Allah atas dirinya).
Perlu digarisbawahi bahwa dalam pembagian ilmu, Zarnuji membagi ilmu pengetahuan kepada empat kategori. Pertama, ilmu fardhu `ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim secara individual. Adapun kewajiban menuntut ilmu yang pertama kali harus dilaksanakan adalah mempelajari ilmu tauhid, yaitu ilmu yang menerangkan keesaan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Baru kemudian mempelajari ilmu-ilmu lainnya, seperti fiqih, shalat, zakat, haji dan lain sebagainya yang kesemuannya berkaitan dengan tatacara beribadah kepada Allah.
Kedua, ilmu fardhu kifayah, ilmu yang kebutuhannya hanya dalam saatsaat tertentu saja seperti ilmu shalat jenazah. Dengan demikian, seandainya ada sebagian penduduk kampung telah melaksanakan fardhu kifayah tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Tetapi, bilamana seluruh penduduk kampung tersebut tidak melaksanakannya, maka seluruh penduduk kampung itu menanggung dosa. Dengan kata lain, ilmu fardhu kifayah adalah ilmu di mana setiap umat Islam sebagai suatu komunitas diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi, dan lain sebagainya.
Ketiga, ilmu haram, yaitu ilmu yang haram untuk dipelajari seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal). Sebab, hal itu sesungguhnya tiada bermamfaat dan justru membawa marabahaya, karena lari dari kenyataan takdir Allah tidak akan mungkin terjadi. Keempat, lmu jawaz, yaitu ilmu yang hukum mempelajarinya boleh karena bermamfaat bagi manusia. Misalnya ilmu kedokteran, yang dengan mempelajarinya akan diketahui sebab dari segala sebab (sumber penyakit). Hal ini diperbolehkan karena Rasullah Saw. juga memperbolehkan.

2. Keutamaan ilmu
Dalam kitabnya Zarnuji menyebutkan keutamaan ilmu hanya karena ia menjadi wasilah (pengantar) menuju ketakwaan yang menyebabkan seseorang berhak mendapat kemuliaan di sisi Allah SWT. dan kebahagiaan yang abadi. Dengan ilmu, Allah memberikan kemuliaan kepada Nabi Adam as. atas para malaikat dan Allah menyuruh mereka sujud kepada Adam, mereka sujud kecuali Iblis yang angkuh.



Selengkapnya......